BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Seperti yang kita
tahu, bahwa Negara kita merupakan negara demokrasi. Demokrasi merupakan suatu
wujud dari kedaulatan rakyat, karena disinilah rakyat yang memliki peranan yang
sangat penting. Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan
Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenal sifat-sifat dan
ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak
dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional
cukup jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 yang belum di amandemen.[1]
Demokrasi adalah
kata kunci dalam mewujudkan sistem kedaulatan rakyat. Demokrasi dan
kesejahteraan rakyat tidak perlu dipertentangkan, karena demokrasi dan
kesejahteraan rakyat dapat berjalan bersamaan dalam mencapai cita-cita
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Membangun sistem demokrasi yang ideal
adalah dengan membangun kesadaran politik masyarakat, mewujudkan nilai-nilai
keadilan, kemanusiaan dan penegakan HAM dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kekuasaan politik yang diraih melalui proses demokrasi yang baik
dapat menciptakan harmoni dalam mencapai kesejahteraan rakyat sebagai tujuan
dari negara.[2]
Wujud dari
demokrasi di Indonesia salah satunya ialah ditandai dengan maraknya partai
politik yang bermunculnya dengan berlandaskan sebgai wadah aspirasi rakyat.
Dari waktu ke waktu sudah bukan hitungan jari lagi banyaknya partai politik,
dari segala kalangan dari segala bidang, dan mungkin sudah tidak ada lagi warna
yang tersisa karena di jandikan sebagai salah satu identitas partai politik
yang mewarnai demokrasi di era reformasi.
Partai politik
berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa
menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan
orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini
ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan
politik-(biasanya) dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. [3]
Menurut Neuman,
partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan
keuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintah yang
resmi. Selain itu menurut menurut Sartori partai politik adalah suatu kelompok
politik yang mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemilihan umum itu mampu
menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik (A party is any political group that present
at elections, and is capable of placing through elections candidates for public
office).[4]
Dari beberapa definisi tersebut kita bisa pahami bahwa partai politik itu
merupakan wadah yang mewakili rakyat dan calon-calonnya yang akan menjadi
kandidat dalam menempati jabatan-jabatan publik.
Pada hakekatnya
memang partai politik ini melandasi bahwa mereka merupakan wakil dari rakyat,
namun bisa kita lihat di Indonesia saat ini semakin banyak partai politik
berbuntut kebingungan pada masyarakat, karena masyarakat akan bingung dalam menuntukan
wakil mereka dan tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan para wakil tersebut
pada kenyataannya tidak mementingkan kepentingan rakyat, tetapi mementingkan
kepentingan politik.
Pemilihan Umum
(PEMILU) ataupun PILKADA merupakan wujud dari pesta Demokrasi, dimana pada saat
itu rakyat terlibat langsung dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam
kitab Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 22E ayat (2)
dikatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.[5] Dari penjelasan di atas
kita bisa tafsirkan bahwa dalam Pemilhan Umum kita pada saat itu akan memilih
wakil wakil rakyat yang akan menyelenggarakan pemerintahan.
Para calon
Legislatif dalam hal ini berasal dari beberapa kalangan, ada yang berasal dari
kalangan pengusaha, dan bahkan dari kalangan artis pun ada yang kita tidak tahu
seberapa kapasitas mereka dalam mengetahui politik, sehingga hal tersebut patut
dipertanyakan, apakah mereka yang menyalonkan diri sebagai wakil rakyat itu
memang benar untuk rakyat atau memang hanya ingin sebuah kursi jabatan atau
bahkan hanya ingin mendapatkan pendapatan, karena gaji seorang anggota
legislatif itu tidaklah kecil.
Untuk dapat sebuah
kursi jabatan tentu saja para calon legislatif haruslah memiliki dukungan dan
suara pada saat Pemilu agar mereka bisa menduduki kursi legislatif yang katanya
bahwa mereka itu mengataskas namakan kepentingan rakyat. Namun dalam hal ini
banyak cara yang di lakukan oleh para calon legislatif tersebut, mulai dari
kampanye ke jalan-jalan, memasang poster-poster foto mereka yang tujuannya agar
masyarakat mengenal mereka. Selain itu tidak sedikit dari mereka berkampanye
dengan cara memberi janji kepada rakyat seperti akan di bangun rumah ibadah,
akan membenarkan jalanan yang rusak yang pada intinya mereka mengumbar janji
untuk mengambil hati rakyat agar rakyat memilih mereka.
Selain itu hal yang
paling parah ialah mereka melakukan money
politic atau politik uang. Caranya ialah mereka memberikan sejumlah uang kepada
rakyat agar rakyat memilh mereka, hal ini merupakan penyimpangan dari
demokrasi. Tetapi tidak sedikit rakyat yang lebih pintar, memanfaatkan mereka
yaitu dengan cara mereka tetap mengambil uang yang para calon legislatif
berikan tetapi masyarakat tidak memilih mereka. Sungguh inilah yang merusak
esensi dari demokrasi.
Pada umumnya caleg
DPRD TK II/kab/kota, DPRD TK I/provinsi DPD dan caleg DPR-RI mempunyai sistem
atau metode kampanye yang hampir sama yaitu dengan sistem money politic atau
yang sering disebut dengan politik uang (Mawardi, 2008) yang sangat luar
biasa. Misalnya saja di daerah
kabupaten/kota money politic terlihat sangat kontras, para caleg langsung
membeli suara dari tiap masyarakat dengan cara membagi-bagikan uang tunai
puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah untuk perorangnya. Dalam situasi di
atas, rakyat sebagai konstituen menjadi memiliki harga tawar yang cukup tinggi.
Pertarungan para caleg untuk menggaet dan memiliki suara rakyat.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Money
Politic?
2.
Mengapa Money Politic bisa
terjadi di Indonesia?
3.
Teori apa yang dapat mengidentifikasi money politic yang terjadi di Indonesia?
4.
Apa dampak dari money
politic?
1.3.
Tujuan
Tujuan dari
penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut :
1.
Mengetahui definisi dari Money
Politic secara teoritis.
2.
Memahami penyebab yang melatar belakangi terjadinya Money Politic di Indonesia melalui
pendekatan teori sosial.
3.
Memahami dampak dari Money
Politik itu sendiri
1.4.
Manfaat
Makalah ini di
susun dengan harapan memiliki kegunaan baik secara teoritis maupun secara
praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengetahuan tentang money politic. Secara praktis makalah
ini di harapkan bermanfaat bagi :
1.
Penulis : Sebagai wahana penambah pengetahuan terhadap
materi yang di teliti mengenai money politic yang terjadi di Indonesia.
2. Pembaca : a. Sebagai media yang memberikan
informasi mengenai money politik di
Indonesia.
b. Sebagai bahan untuk mengetahui fenomena politik yang
terjadi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi dari Money Politic
Politik uang adalah
suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak
menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan
cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan
uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.
Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai
politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan
cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula
kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka
memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.[6]
Kehidupan politik
sejatinya adalah untuk mewujudkan idealisme bagi masyarakat dan negara. Namun
dalam prakteknya politik adalah untuk mempengaruhi dan menggiring pilihan dan
opini masyarakat dengan segala cara. Sehingga, seseorang dan sekelompok orang
bisa meraih kekuasaan dengan pilihan dan opini masyarakat yang berhasil di
bangunnya atau dipengaruhinya. Ini memerlukan modal atau dukungan pemilik
modal. Sehingga wajar jika seseorang dan partai perlu mengarahkan dana yang
tidak sedikit. Oleh karena itulah muncul suatu fenomena yang kita kenal dengan
politik uang (money politic). Pemilu
menjelma menjadi ajang pertaruhan yang besar. Namun sangat sulit untuk
mengharapkan ketulusan dan ketidakpamrihan dari investasi dan resiko yang
ditanggung politisi. [7]
Pengertian money
politic, ada beberapa alternatif pengertian. Diantaranya, suatu upaya
mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga
diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan
membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara
pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian
uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang
tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, maka
pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal
dan merupakan kejahatan. Konsekwensinya para pelaku apabila ditemukan
bukti-bukti terjadinya praktek politik uang akan terjerat undang-undang anti
suap.[8]
Dari penjelasan di
atas kita bisa ambil benang merahnya bahwa money
politic atau politik uang itu merupakan tindakan penyimpangan dari kampanye
yang bentuknya dengan cara memberikan uang kepada simpatisan ataupun masyarakat
lainnya agar mereka yang telah mendapatkan uang itu agar mengikuti keinginan
orang yang memliki kepentingan tersebut. Selain itu juga money politic bukan hanya uang, namun juga bisa berbentuk barang,
biasanya bisa berupa beras, mie, ataupun bahan-bahan sembako. Money politic biasanya dilakukan kepada
masyarakat yang ekonominya rendah, karena itu lah sasaran mereka.
2.2. Penyebab
terjadinya money politic di Indonesia
Seperti teori
kausalitas dikatakan bahwa ada akibat karena ada sebab, begitu juga permasalah
yang satu ini, pasti ada penyebab atau latar belakang dari terjadinya money politic di negeri Indonesia yang
telah mencoreng esensi dari demokrasi.
Dalam masalah ini
bisa kita analogikan, apabila kita ingin mengendari mobil, tentu saja kita
harus memiliki mobil, setelah memiliki mobil tentu saja agar mobilnya berjalan
tentu saja harus ada bahan bakarnya, begitu juga yang di lakukan oleh para
calon legislatif. Partai politik merupakan kendaraan mereka, dan agar mereka
bisa lolos menjadi anggota legislatif maka perlu lah modal berupa materi yaitu
uang, disinilah mereka memulai caranya
dengan mengiiming-imingkan masyarakat dengan bentuk materil agar mereka dapat
dipih oleh masyarakat.
Tentu saja pasti
ada alasan mengapa masyarakat menerima uang atau suapan lainnya yang di berikan
para calon legislatif. Seperti kita tahu bahwa kodrat manusia itu tidak pernah
cukup, tidak kita sangkai bahwa memang manusia sangat menyukai uang karena
memang itulah kebutuhan pokok manusia. Selain itu masa kampanye pun bisa
dijadikan ajang penambah pendapatan mereka. Ada alasan lain juga, mungkin itu
sebuah kekesalan masyarakat akan kinerja wakil rakyat selama ini, masyarakat
berpikir bilamana mereka telah duduk di tahtanya otomatis mereka akan lupa
terhadap janji-janji dan harapan-harapan yang telah mereka orasikan, kedekatan
semasa kampanye akan berakhir secara spontan, jadi masyarakat seolah berpikir
ada baiknya para caleg di manfaatkan sewaktu masa kampanyenya.
Dijelaskan Sudjito
(2009), filosofi manusia modern mempunyai beberapa ciri. Di antaranya, pertama,
manusia modern hidup berdasarkan rasionalitas yang tinggi. Kedua, kebutuhan
manusia terfokus pada materi kebendaan. Di antara materi kebendaan yang
dipandang memiliki nilai tertinggi adalah uang.[9]
Edy Suandi Hamid
(2009) yang melihat dari kacamata ekonomi, menilai money politic muncul karena
adanya hubungan mutualisme antara pelaku (partai, politisi, atau perantara) dan
korban (rakyat). Keduanya saling mendapatkan keuntungan dengan mekanisme money
politic. Bagi politisi, money politic merupakan media instan yang dengan cara
itu suara konstituen dapat dibeli. Sebaliknya, bagi rakyat, money politic
ibarat bonus rutin di masa Pemilu yang lebih riil dibandingan dengan
program-program yang dijanjikan.
Dalam pendekatan
konflik, kita bisa lihat bahwa bentuk konflik yang terjadi dalam fenomena money
politic ini adalah konflik laten, karena konflik yang terjadi tidak dapat
dilihat dengan kasat mata, namun dapat dirasakan dari fenomena yang terjadi,
yaitu persaingan para caleg yang berusaha memperoleh suara konstituen dengan
membagi-bagikan uang. Namun ada kalanya bentuk konflik tersebut berubah menjadi
konflik over (manifest) ketika money politic ini muncul ke permukaan dan
menimbulkan konflik secara nyata, seperti saling menjatuhkan antara caleg, dan
bentuk persaingan lain yang tidak sehat. Belum lagi konflik antara pendukung
salah satu caleg yang agak fanatis untuk memenangkan calegnya, tentu akan
menghalalkan segala cara, termasuk dengan politik uang yang dianggap paling
efektif dalam mengumpulkan suara untuk para caleg yang sedang bersaing.
Teori konflik yang
lain yang dapat digunakan untuk mengkaji fenomena di atas adalah teori hubungan
masyarakat. Teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan/persaingan di
antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat (Anonim, 2008). Fakta dari
teori di atas dapat dilihat dari fenomena money politic, seperti yang terjadi
di Desa Perancak, dari tidak adanya hubungan yang baik secara berkelanjutan
antara caleg dan konstituennya. Dalam artian sebelum kampanye dimulai, antara
caleg dan masyarakat yang diharapkan bisa memilih dirinya tidak pernah saling
ada hubungan, atau bahkan tidak saling mengenal.
Hubungan seperti
ini tentu saja mengancam posisi seorang caleg, yang kemungkinan akan gagal
karena tidak mendapat suara dalam Pemilu yang digelar karena para konstituen
tidak mengenal dirinya. Sosialisasi baik melalui media massa, spanduk, baliho,
SMS, ataupun di internet, juga tidak begitu efektif untuk mengumpulkan suara
karena masyarakat merasa tidak memiliki ikatan emosional dengan caleg yang
bersangkutan. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mendapat dukungan suara
dari masyarakat yang realistis dan (mungkin saja) materialistis adalah dengan
politik uang, yaitu membagikan uang kepada konstituen dengan timbal balik
masyarakat mau memilih caleg yang memberikan uang. [10]
Adapun penyebab
dari terjadinya money politic karena
kurang dijungjungnya Hak Asasi Manusia. Para calon legislatif memberikan uang
ataupun suapan dalam bentuk lainnya dan meminta agar masyarakat yang menrimanya
memilih mereka ketika Pemilu, itu merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Kita bisa lihat bahwa di dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (2) berbunyi : “ Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya”. Tentu saja money
politic merupakan pelanggaran Hak Asasi seseorang dalam menentukan pilihan.
Atas dasar karena mereka telah mendapatkan uang suapan dari para caleg,
akhirnya mereka bisa saja memilih tidak sesuai dengan hati nuraninya, namun
karena atas dasar balas budi kepada calon legislatif yang telah membantu mereka
dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Selain itu penyebab
terjadinya money politic bisa
disebabkan kurang tegasnya hukum di Indonesia. Pasal 73 ayat 3 Undang Undang
No. 3 tahun 1999 berbunyi: "Barang siapa pada waktu diselenggarakannya
pemilihan umum menurut undang-undang ini
dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak
menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan
cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun.
Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian
atau janji berbuat sesuatu."[11] Adapula peraturan lainya
yaitu dalam Undang-Undang Pemilu No. 10 tahun 2008 pasal 84 telah di
peringatkan bahwa “Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye
secara langsung ataupun tidak langsung agar: memilih calon anggota DPR, DPRD
provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu
(huruf d dan e), dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.
Kita bisa lihat di
atas, bahwa money politic atau tindak
penyuapan merupakan pelanggaran dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum. Walaupun aturan ini sudah tertlulis tegas
tetapi masih banyak pelanggaran pelanggaran yang terjadi, hal ini bisa
membuktikan bahwa memang hukum di Indonesia masih kurang di tegakkan. Hal yang
dilakukan oleh para penjual suara dan para pembeli suara di pasar Politic,
sangat bertentangan dengan peraturan yang ada. Namun sampai saat ini belum ada tindakan
yang signifikan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut, bahkan seakan-akan
legal-legal saja.
Kinerja dari
Banwaslu atau Badan Pengawas Pemilu perlu di pertanyakan apakah kinerja yang
telah mereka lakukan sudah sesuai dengan prosedur atau sudah sesuai dengan
amanah yang di percayai rakyat kepada mereka agar mengawasi Pemilu sesuai
dengan aturan. Tidak bisa kita pungkiri bahwa masih banyak penegak hukum yang
melanggar hukum, sungguh permasalahan itu sangat memukul bangsa Indonesia.
Sejumlah pengamat
juga meragukan hasil kualitas pemilu. Hal ini dikarenakan praktek money politic
yang semakin merebak sebagai buntut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
tentang perolehan suara terbanyak. Partai politik telah bersekongkol dengan
menganggap money politic merupakan hal biasa dan wajar. Sebab, yang terjadi
saat ini praktik money politic sudah terdidik dan terkoordinir. Mahkamah
Konstitusi (MK) juga dinilai telah berperan melanggengkan praktek money politic
ini dengan menetapkan suara terbanyak berbasis individu sebagai pemenang bagi
caleg yang akan terpilih nantinya. Hal ini akan membuat caleg akan bersikap
pragmatis hanya untuk sekadar memenangkan pemilu tanpa melihat kepentingan
rakyat.[12]
Permasalahan money politic juga bisa membuktikan
bahwa masyarakat masih belum memahami dan menjalankan demokrasi dengan benar.
Menerima suapan yang di berikan para calon legislatif bukti bahwa masyarakat
tidak menghargai arti dari demokrasi, bukan hanya masyarakatnya saja yang
merusak demokrasi namun merekalah para calon legislatif yang menjadi aktor
penghancur nilai-nilai demokrasi bangsa Indonesia ini.
2.3. Money Politik Melalui Pendekatan Teori
a. Teori Konflik
Kesenjangan kepentingan antara Caleg dan aturan
(undang-undang) yang berlaku dapat dilihat dari kacamata teori ilmu sosial.
Fenomena di atas dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan atau teori konflik.
Teori konflik ini salah satunya mengkaji penyebab timbulnya konflik dalam
masyarakat. Salah satu teori yang menyebabkan timbulnya konflik adalah teori
kebutuhan masyarakat.
Teori Kebutuhan Manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar
dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik, mental, dan sosial) yang
tidak terpenuhi atau dihalangi (Navastara, 2007). Keamanan, identitas,
pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran
dari teori ini adalah membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk
mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak
terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
itu, dan agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk
memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.[13]
Dalam tataran pendekatan di atas, money politic dapat
dilihat dari latar belakang terjadinya. Caleg dalam kasus di atas melakukan
politik uang karena mereka membutuhkan sesuatu dari usahanya membagi-bagikan
uang kepada konstituennya tersebut. Adapun kebutuhan yang mereka inginkan
adalah kedudukan dan uang, yang mungkin akan mereka dapatkan setelah menjadi
salah satu pemilik kursi di parlemen. Mungkin ketika seorang caleg tidak akan
bersaing jika ia dipilih karena dukungan murni dari konstituennya.
Teori konflik yang lain yang dapat digunakan untuk mengkaji
fenomena di atas adalah teori hubungan masyarakat. Teori hubungan masyarakat
menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi,
ketidakpercayaan dan permusuhan/persaingan di antara kelompok yang berbeda dalam
suatu masyarakat.[14]
Dalam teori konflik ini bisa kita simpulkan bahwa seharusnya
money politic itu terjadi apabila
para calo legislatif memiliki hubungan baik dengan masyarakat. Tidak perlu
diberi uang untuk melancarkan para caleg, masyarakat pasti memilih mereka
karena sebelumnya telah memiliki hubungan baik dengan masyarakat. Memang tidak
dapat dipungkiri bahwa di zaman sekarang ini mungkin sulit sekali untuk mencari
orang yang demikian karena masyarakat lebih percaya kepada uang , dibandingkan
dengan caleg yang mengumbar janji belaka, tanpa ada perjuangan nyata untuk
rakyat yang memerlukan. Tapi ini bisa dihalangkan apabila cara yang dilakukan
para calon legislatif dengan cara pendekatan dan memiliki hubungan yang baik
terlebih dahulu dengan masyarakat.
b. Struktural
Fugsional
Teori struktural fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat
merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang
saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang
dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai
pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang
dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa
bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain :
faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai
atau norma yang berlaku.[15]
Talcott Parsons melahirkan teori fungsional yang dalam
pemikirannya mempunyai komponen utama adanya proses diferensiasi. Parsons
berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang
berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi
masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat
tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi
permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang
memandang optimis sebuah proses perubahan (Widodo, 2008).
Bahasan tentang struktural fungsional Parsons ini akan
diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu
fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan
tertentu atau kebutuhan sistem.[16] Parsons menyampaikan
empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu
:
1. Adaptasi, sebuah
sistem harus mampu menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Pencapaian, sebuah
sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Maksudnya dalam hal ini
segala setiap kegiatan pemerintahan harus sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia
yang tertera pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4. Bila segala sistem
pemerintahan sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia mungkin money politic tidak akan terjadi di bangsa Indonesia.
3. Integrasi, sebuah
sistem harus mengatur hubungan antarbagian yang menjadi komponennya. Sistem
juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya. Dalam
hal ini dimaksudkan agar setiap lembaga di pemerintahan berjalan sesuai fungsi
nya baik dari badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar sistem
pemerintahan ini bisa berjalan secara efektif.
4. Pemeliharaan pola,
sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual
maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Francesca Cancian memberikan sumbangan pemikiran bahwa
sistem sosial merupakan sebuah model dengan persamaan tertentu. Model ini
mempunyai beberapa variabel yang membentuk sebuah fungsi. Penggunaan model
sederhana ini tidak akan mampu memprediksi perubahan atau keseimbangan yang
akan terjadi, kecuali kita dapat mengetahui sebagian variabel pada masa depan.
Dalam sebuah sistem yang deterministik, seperti yang disampaikan oleh Nagel,
keadaan dari sebuah sistem pada suatu waktu tertentu merupakan fungsi dari
keadaan tersebut beberapa waktu lampau.
Tataran teoretis di atas mengenai struktural fungsional
dapat digunakan untuk mengkaji fenomena money politic yang juga terjadi di
Indonesia. Sesuai dengan teori ini, masyarakat maupun caleg dari partai
tertentu serta penyelenggara pemilu (KPU), merupakan bagian atau subsistem dari
suatu sistem politik di Indonesia. Dahl (1994; lihat pula Fatah, 1994),
mengemukakan salah satu kriteria penting dalam sistem demokrasi, termasuk Indonesia,
adalah adanya partisipasi rakyat dalam pemilihan umum, selain kriteria yang
lain. Masing-masing dari subsistem tersebut mempunyai fungsi tertentu yang
sesuai dengan kedudukannya di dalam masyarakat. Masing-masing fungsi dan peran
dari suatu subsistem akan saling berinteraksi dan saling melengkapi dengan
subsistem yang lain.
Dalam suatu sistem politik, khususnya di Indonesia, rakyat
sebagai konstituen mempunyai peran sebagai pemilih yang memiliki suara.
Sedangkan caleg berperan sebagai peserta yang ikut dalam Pemilu pada suatu
partai tertentu yang akan menuju kursi parlemen. Dan untuk menuju ke kursi
parlemen seorang caleg memerlukan dukungan suara dari konstituen yang memiliki
hak suara. Dan KPU sebagai penyelenggara KPU adalah lembaga yang berperan dalam
memfasilitasi kedua kepentingan di atas serta melegalisasi hasil dalam Pemilu.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan sesuatu yang berarti bagi sistem
demokratisasi politik Indonesia, maka komponen atau subsistem tersebut harus
bekerjasama dalam mencapai suatu sinergi dalam mencapai kepentingan
masing-masing. [17]
Dari kedua pendekatan teori ini, teori konflik maupun teori
pendekatan fungsional bisa dijadikan alat untuk memecahkan fenomena menganai money politik. Dari cara-cara yang telah
di atas dipaparkan yang terpenting untuk mencegah terjadinya money politic yaitu dengan meningkatkan
kualitas iman dan taqwa para politisi, karena dalam hal ini agama bisa
membentengi kita agar tidak melakukan hal-hal yang negatif.
2.4. Dampak dari money
politic di Indonesia
Banyak sekali
dampak yang dihadirkan akibat dari money
politic, baik itu dampak bagi masyarakatnya maupun dampak bagi para calon
legislatif itu sendiri. Dampak bagi para calon legislatif sendiri ada dua sisi,
yang pertama apabila mereka berhasil terpelih karena suksesnya money poltic yang mereka lakukan, maupun
dampak dari kekalahan para calon legislatif yang gagal dalam money politic yang mereka lakukan.
Bagi para calon
legislatif yang gagal dampaknya ialah bila mereka imannya kurang , mereka bisa
saja menjadi gila, atau psikologi nya terganggu, karena kita bisa banyak
temukan para calon legislatif yang gila karena mereka gagal menduduki kursi
legislatif. Selain karena kurang suara, tidak sedikit para calon legislatif
yang gagal karena terbukti melakukan pelanggaran, ibarat pepatah sudah jatuh
tertimpa tangga pula, sudah keluar uang banyak taidak terpilih dan akhirnya
tertangkap pula, akibatnya rumah sakit lah yang menjadi ujung perjuangan
mereka.
Dampak lainnya kita
perhatikan dari sisi apabila para calon legislatif itu berhasil melenggang
mendapatkan kursi legislatif akibat dari money politik. Dalam hal ini dampak
yang sangat harus kita waspadai ialah penyalahgunaan jabatan, karena bisa kita
lihat banyak kasus-kasus korupsi di ranah legislatif. Mereka berfikir karena
mereka sebelum menduduki kursi legislatif mereka sudah habis modal
besar-besaran, sehingga saat itu lah yang menjadi cara agar modal yang telah
habis mereka gunakan money politic
kembali lagi, istilah lainnya “balik modal”. Tidak dapat dipungkiri banyak
sekali proyek-proyek yang bisa menimbulkan korupsi yang tidak sedikit.
Selain itu akibat
dari tidak kompetennya para legislator bisa semakin memperkeruh keadaan yang
parah, menjadi semakin parah keadaan pemerintahaan di Indonesia. Mereka para
caleg umumnya hanya bisa mengumbar janji tidak tahu seperti apa kompetensi yang
mereka miliki dan hasilnya hanyalah korupsi dan korupsi yang menghiasi berita
berita di media masa.
Selain itu bila
kita melihat dari sisi agama, Rasulullah
Saw bersabda, "Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat kehancuran".
Sahabat bertanya: "Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?" Rasul
menjawab: "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka
tunggulah saat kehancurannya" (HR Bukhari). Hadits ini diperkuat dengan
sejumlah ayat Alquran dan hadis lain tentang keharusan umat Islam menyerahkan
amanah kepada ahlinya. Dalam Surat An-Nisa: 58 Allah Swt menegaskan,
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkannya dengan adil. Menyerahkan amanah kepada bukan ahlinya
juga menjadi salah satu tanda akhir zaman (kiamat).[18]
Kita bisa lihat sudah ada penjelasan
dari hadist dan ayat suci Al-quran, yang pada intinya bahwa apabila suatu
amanah diberikan kepada orang yang tidak sesuai dengan kapabilitasnya makan
tunggu akan kehancuran yang di akibatkannya. Sungguh itu merupakan sesuatu yang
sangat kita tidak inginkan karena siapa yang ingin apabila negaranya hancur.
Mengenai dampak dari money
politic tentu saja ada dampaknya bagi masyarakat sendiri. Money politic bisa dijadikan ajang
mencari penghasilan, masyarakat awam tidak mempedulikan nilai nilai dari
demokrsi yang terpenting baginya ialah mereka telah mendapatkan uang atau
bentuk penyuapan lainnya. Dampak lainnya ialah masyarakat harus berhutang budi
kepada mereka yang telah memberikan uang agar masyarakat memilih mereka. Dalam
hal inilah Hak Asasi seseorang dalam menentukan pilihan yang tidak diperhatikan.
Selain itu dampaknya bisa tidak ada kepercayaan lagi dari masyarakat kepada
para wakil-wakil rakyat. Dengan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap
para calon pemimpin memberikan efek negatif bagi para elit-elit dengan
menghambur-hamburkan uang dalam waktu sekejap, demi kekuasaan semata.
Money politic bisa juga berdampak
perpecahan antar masyarakat, karena masyarakat telah berhutang budi kepada
calon legislatif yang telah memberikan bentuk penyuapan, sehingga sikap fanatik
akan timbul dan mereka menganggap para calon legislatif lainnya buruk dibandingkan
yang mereka dukung, disinilah akan terjadi konflik antar pendukung
masing-masing para calon legislatif. Sangat disayangkan apabila terjadi
perpecahan yang terjadi di masyarakat akibat permainan para politisi dengan money politic.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Money politic atau politik uang
itu merupakan tindakan penyimpangan dari kampanye yang bentuknya dengan cara
memberikan uang kepada simpatisan ataupun masyarakat lainnya agar mereka yang
telah mendapatkan uang itu agar mengikuti keinginan orang yang memliki
kepentingan tersebut. Selain itu juga money
politic bukan hanya uang, namun juga bisa berbentuk bahan-bahan sembako.
Banyak sekali penyebab terjadinya Money politic diantaranya disebabkan karena masyarakat masih belum siap untuk hidup berdemokrasi
secara utuh. Selain itu money politic bisa
terjadi karena masih kurang di tegakkannya hukum di Indonesia. Tugas banwaslu
yang masih kurang efektif dalam mengawasi pemilihan umum agar berjalan sesuai
tujuan. Ada juga penyebab lainnya yaitu kurang diperhatikannya menganai Hak
Asasi Manusia, masyarakat tentunya akan bimbang apabila telah mendapatkan money politic karena mereka berhutang
budi kepada mereka, padahal dalam lubuk hatinya mereka tidak mau memilih caleg
tersebut. Tetapi dari alasan penyebab terjadinya money politic yang terpenting yaitu karena masih kurang iman dan taqwanya
para politisi maupunn masyarakatnya itu sendiri. Apabila para politisi maupun
masyarakatnya sendiri dibentengi dengan iman yang kuat mungkin tidak akan ada
bentuk-bentuk penyimpangan yang terjadi.
Dampak dari adanya money
politic tentunya banyak sekali. Dampak bagi para caleg yang lolos maupun
para caleg yang tidak berhasil lolos. Dampak bagi caleg yang berhasil lolos
tentunya akan berdampak juga terhadap pemerintahan karena yang berhasil
menduduki kursi legisatif tidak bisa dipungkiri masih banyak yang tidak kompeten
sehingga sesuai hadist Rasululloh “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan
ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Itu lah yang tidak di inginkan
oleh kita sebagai warga negara Indonesia, selain itu dampak bagi masyarakatnya
sendiri akan timbul perpecahan, karena saking fanatiknya dan merasa harus balas
budi karena mereka telah di beri bentuk penyuapan oleh para caleg, sehingga
menganggap caleg yang lainnyna rendah dibandingkan yang mereka dukung. Namun
yang tidak di inginkan apabila para pendukung melakukan cara apapun agar yang
mereka dukung lolos.
Teori konflik maupun teori pendekatan fungsional bisa
dijadikan alat untuk memecahkan fenomena menganai money politik. Dari cara-cara yang telah di atas dipaparkan yang
terpenting untuk mencegah terjadinya money politic yaitu dengan meningkatkan
kualitas iman dan taqwa para politisi, karena dalam hal ini agama bisa
membentengi kita agar tidak melakukan hal-hal yang negatif.
3.2. Saran
Sebagai Mahasiswa dari Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
disini sayang memberikan saran agar dalam proses pembelajarannya lebih
diperbaiki kualitasnya, karena PKn merupakan mata pelajaran yang menjadi
tonggak pembangunan karakter yang baik. Selain itu karena di dalam PKn selain
belajar mengenai kenegaraan didalamnya juga di belajarkan mengenai moral,
sehingga di harapkan para siswa dan lebih luasnya masyarakat akan menjadi warga
negara yang cerdas dan baik atau to be
smart and good citizen. Selain itu juga saran dari penulis ialah harus
ditegakannya hukum di Indonesia karena itu lah yang akan membuat demokrasi
berjalan sesuai kaidahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia
Undang Undang No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
Budiardjo, M. 2009.Dasar-Dasar Ilmu Politik. JAKARTA :
Gramedia Pustaka Utama.
Pratono, W. 2010. Money
Politik di Indonesia. [Online]. Tersedia:http://njimetamorphose.blogspot.com/2010/03/money-politik-di-indonesia.html (13 Juni 2012)
Prawida, N. 2010. Politik
Uang. [Online]. Tersedia:http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang.html (13 Juni 2012)
Sanjaya, A. 2010. Money
Politic dalam demokrasi. [Online]. Tersedia:http://adisanjaya24.blogspot.com/2010/06/money-politic-dalam-demokrasi-suatu.html
(13 Juni 2012)
Sudjito. 2009. Money
Politik: Penyakit Demokrasi Liberal. [Online]. Tersedia:http://www.yogyakartaonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=363:pemilu&catid=1:latest-news.html (13 Juni 2012)
Wadyotama, R. 2012. Tradisi
Money Politik. [Online]. Tersedia:http://pkntradisimoneypolitik.blogspot.com.html (13 Juni
2012)
Yanuardian, K. 2007. Manajemen
Konflik: Definisi dan Teori-teori Konflik. [Online].Tersedia:http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-teori-teori-konflik.html
(13 Juni 2012)
Widodo, S. 2008. Perspektif
teori tentang perubahan sosial struktural fungsional dan psikologi sosial.
[Online]. Tersedia:http://learning-of.slametwidodo.com/
2008/02/01/perspektif-teori-tentang-perubahan-sosial-struktural-fungsional-dan-psikologi-sosial/html
(13 Juni 2012)
[1] Budiardjo,
M. 2009. DASAR-DASAR ILMU POLITIK. JAKARTA : Gramedia Pustaka Utama
[2] : http://adisanjaya24.blogspot.com/2010/06/money-politic-dalam-demokrasi-suatu.html
[3] Budiardjo, M. 2009. DASAR-DASAR ILMU
POLITIK. JAKARTA : Gramedia Pustaka Utama
[4] Budiardjo,
M. 2009. DASAR-DASAR ILMU POLITIK. JAKARTA : Gramedia Pustaka Utama
[5] Kitab UUD
1945 Republik Indonesia
[9] Sudjito.
2009. Money Politik: Penyakit Demokrasi Liberal. Tersedia dalam http://www.
yogyakartaonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=363:pemilu&catid=1:latest-news
[11] Undang
Undang No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum
[13] Manajemen
Konflik: Definisi dan Teori-teori Konflik. Tersedia dalam
http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-teori-teori-konflik/
[14] Manajemen
Konflik: Definisi dan Teori-teori Konflik. Tersedia dalam
http://jepits.wordpress.com/2007/12/19/manajemen-konflik-definisi-dan-teori-teori-konflik/
[15] http://learning-of.slametwidodo.com/
2008/02/01/perspektif-teori-tentang-perubahan-sosial-struktural-fungsional-dan-psikologi-sosial/
[16] http://learning-of.slametwidodo.com/
2008/02/01/perspektif-teori-tentang-perubahan-sosial-struktural-fungsional-dan-psikologi-sosial/
[18] http://nurulhidayahbugel.blogspot.com/2011/04/put-right-man-in-right-place.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar